Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
Pengertian dan istilah dalam perlindungan konsumen
Istilah
konsumen berasal dari bahasa Belanda: Konsument. Para ahli hukum pada umumnya
sepakat bahwa arti konsumen adalah: “Pemakai akhir dari benda dan jasa
(Uiteindelijke Gebruiker van Goerderen en Diensten) yang diserahkan kepada
mereka oleh pengusaha (ondernamer)”12 Menurut Az. Nasution, pengertian konsumen
adalah “Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau
jasa untuk suatu kegunaan tertentu”.13 Menurut Pasal 1 angka (2) UUPK
menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak diperdagangkan”.
Pelaku
usaha secara umum adalah orang atau badan hukum yang menghasilkan barang-barang
dan/atau jasa dengan memproduksi barang dan/atau jasa tersebut untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat atau konsumen dengan mencari keuntungan dari barang-barang
dan/atau jasa tersebut. Undang - undang perlindungan konsumen (UUPK) tampaknya
berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata
“konsumen”. Sehingga digunakan kata “pelaku usaha” yang mempunyai makna lebih
luas, dimana istilah pelaku usaha ini dapat berarti juga kreditur (penyedia
dana), produsen, penyalur, penjual dan terminologi lain yang lazim diberikan.
Menurut
pasal 1 angka (3) UUPK, yang dimaksud pelaku usaha adalah “Setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan suatu pengertian yang dimaksud pelaku usaha
adalah seperti yang dimaksud dalam pasal 1 angka (3) UUPK, yaitu setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi. Sedangkan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhlukhidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen berdasarkan asas-asas yang terdapat pada
perlindungan konsumen Pasal 2 UUPK menyebutkan “perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen serta kepastian hukum”.
Di
dalam penjelasan pasal 2 UUPK menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembagunan
nasional, yaitu:
1.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesarbesarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secra keseluruhan.
2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepeda konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spirituil.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan
atas kesamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
Perbuatan yang dilarang berdasarkan UUPK serta Penegakan Hukumnya
Secara umum perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dari pasal 8 sampai dengan 17.
Ketentuan
Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan yang general bagi kegiatan usaha
dari para pelaku usaha pabrikan dan distributor di Indonesia. Larangan tersebut
meliputi kegiatan usaha untuk melaksanakan kegiatan produksi dan/atau
perdagangan barang dan jasa yang :
a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.
tidak sesuia dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tersebut;
h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara hala, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
i.
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menyurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j.
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Secara
garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 UUPK tersebut dapat dibagi ke
dalam dua larangan pokok yaitu :
1.
larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat atau standar
yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;
2.
larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak akurat yang
menyesatkan konsumen.
Apabila
pelaku usaha dalam menjalankan usahanya melanggar larangan - larangan dan/atau
menimbulkan kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian kepada konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang diperjual belikan maka pelaku usaha tersebut
bertanggung jawab memberikan ganti rugi.
Ganti
rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau
jasa sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi. Disamping itu pelaku usaha periklanan juga bertanggung jawab atas
iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Namun
dalam Pasal 27 UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang
dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
a.
barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau dimaksudkan untuk
diedarkan;
b.
cacat barang timbul pada kemudian hari;
c.
cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e.
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau
lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Menurut
Pasal 18 Ayat (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku
pada setiap dokumen/atau perjanjian apabila :
a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dbeli oleh konsumen secara angsuran;
e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli konsumen;
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa menyatakan konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya
dalam Pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Sebagai konsekuensi
atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan (2) tersebut,
Pasal
18 Ayat (3) UUPK menyatakan batal demi hukum dalam arti klausula baku tersebut
dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak. Sehingga atas
kebatalan tersebut maka dalam Pasal 18 Ayat (4) mewajibkan pelaku usaha untuk
menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Bahwa
pada prinsipnya UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian
standar yang memuat klausula baku atas suatu perjanjian, selama dan sepanjang
perjanjian standar tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang
dalam pasal 18 angka (1) serta tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal
18 angka (2) dalam undang -undang ini.
Badan
perlindungan konsumen:
1.
Berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada
Presiden. 2. Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan
konsumen di Indonesia.
3.
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a.
memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.
melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.
melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan
konsumen;
d.
mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.
menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.
menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.
melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Komentar
Posting Komentar